Lingkungan sosial, Budaya
dan Manfaat Negoisasi Bisnis
Lingkungan sosial adalah Suatu sistem norma
terhadap individu atau kelompok manusia yang mempengaruhi tingkah laku dan
interaksi mereka serta berkaitan dengan keadaan sistem nilai budaya, adat
istihadat dan cara hidup masyarakat yang mengelilingi kehidupan seseorang.
Budaya adalah Suatu kelompok orang dalam cara
hidup yang berkembang diwariskan dari generasi ke generasi.
Negoisasi bisnisadalahSuatu bentuk untuk
berinteraksi sosial antar beberapa pihak yang bertujuan untuk mencapai
kesepakatan bersama yang dianggap menguntungkan terhadap pihak yang
bernegosiasi.
Manfaat Negoisasi tediri dari :
a. Terciptanya suatu jalinan kerja sama antar
satu pihak dengan pihak lainnya untuk mencapai tujuan.
b. Memiliki pengertian terhadap masing masing
pihak yang bernegosiasi mengenai kesepakatan yang akan di ambil dan dampaknya
bagi semua.
c. Negoisasi memiliki manfaat bagi
terciptanya suatu kesepakatan bersama saling menguntungkan terhadap semua pihak
yang bersangkutan.
d.Terciptanya suatu interaksi yang positif
terhadap pihak yang bernegoisasi sehingga terjalin kerjasama akan menghasilkan
dampak yang lebih luas bagi banyak orang.
Dalam judul diatas memliki sub-sub bab yang terdiri dari
:
A. ASPEK DASAR
BUDAYA
Bagi ahli antropologi dan sosiologi, budaya adalah
“cara hidup” yang dibentuk oleh sekelompok manusia yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Budaya termasuk kesadaran dan ketidaksadaran
akan nilai, ide, sikap, dan simbol yang membentuk perilaku manusia dan
diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Seperti didefinisikan
oleh seorang ahli antropologi organisasi Geert Hofstede, budaya adalah “tatanan
kolektif dari pikiran yang membedakan anggota tersebut dari satu kategori orang
dengan orang lainnya.”
1. Pandangan Ahli Antropologi
Seperti
diutarakan oleh Ruth Benedict dalam karya klasiknya berjudul The Chrysanthemum
and the Sword, tidak peduli betapa aneh tindakan atau pendapat seseorang , cara
seseorang berpikir, merasa, dan bertindak mempunyai hubungan dengan
pengalamannnya di dunia ini. Tidak masalah jika tindakan dan opini dirasakan
sebagai gagasan yang aneh oleh orang lain. Pemasar global yang berhasil harus
memahami pengalaman manusia dari sudut pandang lokal dan menjadi orang dalam
melalui proses empati budaya.
2. Budaya Konteks Tinggi dan Rendah
Edward
T. Hall menyarankan konsep konteks tinggi dan rendah sebagai salah satu cara
untuk memahami orientasi budaya yang berbeda. Dalam budaya konteks rendah,
pesan nyata; kata-kata membawa sebagian besar informasi dalam komunikasi. Dalam
budaya konteks tinggi, tidak terlalu banyak informasi berada dalam pesan
verbal. Jepang, Saudi Arabia, dan budaya konteks tinggi lainnya sangat
menekankan pada nilai dan posisi atau kedudukan seseorang di masyarakat. Dalam
budaya ini, pinjaman dari bank lebih mungkin didasarkan pada siapa Anda
daripada analisis formal laporan keuangan. Dalam budaya konteks rendah seperti
Amerika Serikat, Swis, atau Jerman, persetujuan dibuat dengan informasi yang
jauh lebih sedikit mengenai karakter, latar belakang, dan nilai-nilai. Keputusan
lebih didasarkan pada fakta dan angka dalam permintaan pinjaman.
3.
Komunikasi dan Negosiasi
Jika
bahasa dan budaya berubah, ada tantangan tambahan dalam komunikasi. Misalnya,
“ya” dan “tidak” dipergunakan dengan cara yang berbeda antara Negara Jepang dan
Negara barat. Hal ini menyebabkan kebingungan dan kesalahpahaman. Dalam bahasa
inggris jawaban “ya” atau “tidak” atas sebuah pertanyaan didasarkan pada apakah
jawabannya mengiyakan atau menolak. Dalam bahasa Jepang, tidak demikian.
Jawaban “ya” atau “tidak” dapat dipergunakan untuk jawaban yang membenarkan
atau menolak pertanyaan tadi.
4. Perilaku Sosial
Ada sejumlah perilaku sosial dan sebutan yang
mempunyai arti yang berbeda-beda di dalam budaya lain. Sebagai contoh, orang
Amerika umumnya menganggap tidak sopan jika makanan di atas piring membubung,
membuat keributan ketika sedang makan, dan bersendawa. Namun sejumlah
masyarakat Cina merasa bahwa merupakan hal yang sopan jika mengambil setiap
porsi makanan yang dihidangkan dan menunjukkan kepuasannya dengan bersendawa.
Perilaku
sosial lainnya, jika tidak diketahui, akan merugikan bagi pelancong
internasional. Sebagai contoh, di Arab Saudi, merupakan penghinaan jika
menanyakan kepada pemilik rumah tentang kesehatan suami/istri.
5. Sosialisasi Antar-Budaya
Dalam
memahami suatu budaya berarti memahami kebiasaan, tindakan, dan alasan-alasan
di balik perilaku-perilaku yang ada. Sebagai contoh, di Indonesia kebanyakan
pada membuang sampah sembarangan. Bahkan budaya lain menganggap membuang sampah
itu tidak higienis.
B. Pendekatan
Analitis Faktor Budaya
Terdapat beberapa pendekatan dalam negosiasi. Para
ahli teori berbeda dalam mengkategorikan berbagai aliran utama yang ada dalam
negosiasi, misalnya adalah Daniel Druckman menggambarkan aliran utama dalam
teori negosiasi didasarkan atas 4 (empat) pendekatan dalam negosiasi, yaitu
negosiasi sebagai penyelesaian puzzle, negosiasi sebagai permainan bargaining,
negosiasi sebagai manajemen organisasi, dan manajemen sebagai diplomasi
politik. Sementara itu, Howard Raiffa menggambarkan berbagai jenis pendekatan
negosiasi yaitu dimensi simetris dan asimetris, dan preskripsi dan deskripsi.
Selanjutnya, Linda L. Putnam menyebutkan bahwa terdapat 2 (dua) pendekatan yang
umum digunakan dalam negosiasi, yaitu descriptive bargaining dan integrative
bargaining.
Dan
yang terakhir, I. William Zartman mengenalkan 5 (lima) tingkatan analisis yang
berbeda dalam negosiasi, yaitu pendekatan struktural, pendekatan strategis,
pendekatan proses, pendekatan perilaku, dan pendekatan integratif. Berikut
adalah intisari pendekatan negosiasi yang meliputi fitur dasar, asumsi, serta
keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing pendekatan.
1.
Pendekatan struktural – menekankan pada makna, posisi, serta kekuatan; dengan
asumsi hasil negosiasi adalah win-lose; namun memiliki keterbatasan dalam hal
posisi yang dapat menyebabkan hilangnya kesempatan diperolehnya kesepakatan
yang saling menguntungkan bagi semua pihak serta terlalu menekankan pada
kekuatan.
2.
Pendekatan strategis– menekankan pada tujuan, rasionalitas, dan posisi; dengan
asumsi hasil negosiasi adalah win-lose; keberadaan solusi adalah optimal dan
mengedepankan rasionalitas para pemain; memiliki keterbatasan
dalam hal tidak menyertakan penggunaan kekuatan, para pemain tidak dapat
dibedakan.
3.
Pendekatan proses– menekankan pada pembuatan konsesi perilaku serta posisi;
dengan asumsi hasil negosiasi adalah win-lose, respon bersifat reaktif; dan
dengan keterbatasan dalam hal terlalu menekankan pada posisi, dan kurangnya
prediktifitas
4.
Pendekatan perilaku– menekankan pada perlakuan kepribadian; dengan asumsi hasil
negosiasi adalah win-lose dan peran dari persepsi dan ekspektasi; dan dengan
keterbatasan dalam hal terlalu menekankan pada posisi.
5.
Pendekatan integratif– menekankan pada pemecahan masalah, menciptakan nilai,
komunikasi, dan hasil negosiasi adalah win-win solutions; dengan asumsi win-win
solutions; dan memiliki keterbatasan dalam hal penggunaan waktu serta semua
pihak hendaknya memperhatikan dan siap terhadap serangan balik yang dilakukan
oleh pihak non-intergratif bargaining.
C. Negoisasi
Negosiasi
adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengelola atau menangani konflik
yang ada di dalam berbagai bidang dan
konteks komunikasi yaitu komunikasi interpersonal atau komunikasi antar
pribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi antar budaya,
komunikasi lintas budaya, komunikasi bisnis, komunikasi bisnis lintas budaya,
dan komunikasi internasional, dan
komunikasi pemasaran.
Negosiasi merupakan salah satu
bentuk manajemen konflik selain mediasi dan dialog. Negosiasi lebih menekankan
pada adanya pertukaran usulan yang ditujukan untuk meminimalisir perbedaan
akibat adanya ketidaksesuaian tujuan yang dialami para anggota dengan cara
menciptakan sebuah kesepakatan. Umumnya, negosiasi dapat kita temui dalam
berbagai bidang kehidupan seperti proses transaksi antara penjual dan pembeli,
perjanjian bisnis, interaksi antara pihak manajemen dan buruh dalam sebuah
perusahaan, hubungan pernikahan, situasi penyanderaan, kerusakan lingkungan,
dan lain-lain.
4. Produk
Industri dan Produk Konsumen
a. Produk
Industri
Berbagai
faktor budaya mempunyai pengaruh penting pada pemasaran produk industri di
seluruh dunia dan harus dikenali dalam merumuskan rencana pemasaran global.
Beberapa produk industri dapat menunjukkan sensitivitas lingkungan yang rendah,
seperti dalam kasus chip komputer, misalnya, atau tingkat tinggi, seperti dalam
kasus generator turbin yang mana kebijakan pemerintah untuk “pembelian
nasional” menunjukkan bahwa tawaran dari penawar asing itu tidak menguntungkan.
b. Produk
Konsumen
Dalam
studi menunjukkan bahwa tanpa tergantung pada kelas sosial dan pendapatan,
budaya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku konsumsi,
penggunaan media, dan kepemilikan barang yang tahan lama. Produk konsumen
mungkin lebih peka terhadap perbedaan budaya daripada produk industri. Rasa
lapar merupakan suatu kebutuhan fisiologis dasar dalam hirarki Maslow pada
dasarnya semua orang butuh makan, tapi apa yang akan kita makan sangat
dipengaruhi oleh budaya.
Referensi:
Purnomolastu, Agus,Wijaya, 2012. “Negosiasi Berkarakter Lintas Budaya”
Widaghdo
Djoko, 2010. Ilmu Sosial Budaya Dasar,
Jakarta, Bumi Askara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar